7.5.11

Waduk Jatigede Merupakan Pengulangan Sejarah Kegagalan

Proyek Bendungan Jatigede berlokasi di Jawa Barat tepatnya di daerah Sumedang dan telah tertunda selama 44 tahun dari perencanaannya pada tahun 1963. Pembangunan proyek ini akan menenggelamkan 5 kecamatan dan 30 desa, menggusur sebanyak 70.000 jiwa penduduknya, menenggelamkan areal seluas 6.783 ha dengan 1200 ha hutan milik Perhutani, dan puluhan situs sejarah ikut tersapu.
Dengan hilangnya 3.200 ha, lahan subur yang termasuk di dalamnya adalah pertanian Sumedang yang akan kehilangan 80.000 ton padi per tahun. Selain itu, bahaya proyek ini disebabkan letak pembangunannya di atas daerah rawan gempa dengan adanya struktur patahan yang telah menyebabkan gempa pada tahun 1912 dan 1990 akibat pergeseran zona sesar dalam. Harus dijadikan pertimbangan pula fakta bahwa kondisi DAS Cimanuk yang akan dibendung telah mengalami kerusakan sebesar 47%.

Bendungan di Dunia
 
Proyek Jatigede akan menambah satu terhadap 4500 bendungan yang telah tersebar di seluruh dunia, dengan puncak pembangunan besar-besaran terjadi pada tahun 1980 dan menurun drastis setelah tahun 1990. Hal ini terjadi karena bendungan mulai terlihat bukan merupakan solusi, melainkan penundaan masalah dengan resiko yang jauh lebih besar, bendungan bukan solusi.
Pembahasan permasalah bendungan di seluruh dunia banyak merujuk kepada WCD (World Comission on Dam) sebagai komisi dunia yang meneliti bendungan. Hasil evaluasi dam dengan pengambilan sampel di seluruh dunia menunjukkan fakta sebagai berikut:
  • Hanya 50% (n=99) bendungan sampel di seluruh dunia yang selesai tepat waktu, 
  • Hal tersebut tentu saja berhubungan erat dengan membengkaknya anggaran proyek hingga mencapai 56% (n=80) melebihi anggaran awal 
  • Bendungan dengan tujuan irigasi sebanyak 50% (n=52) tidak mampu memenuhi target jangkauan irigasinya 
  • Bendungan dengan tujuan PLTA sebanyak 54 % proyek tidak menghasilkan output yang ditargetkan 
  • Bendungan dengan tujuan sebagai penyimpan air sebanyak 70% gagal memenuhi suplai air yang ditargetkan. Bahkan ditemukan bahwa semakin kecil area reservoir semakin tinggi tingkat keberhasilannya untuk memenuhi target penyuplaian air. Hal ini menunjukkan bendungan untuk tujuan ini seringkali dibangun berlebihan dan mubazir. 
  • 60% mitigasi yang dilakukan untuk menanggulangi dampak dam tidak berhasil sehingga kerusakan terus berlangsung. 
  • Jumlah masyarakat yang dipindahkan selalalu lebih besar dari yang diperkirakan bahkan mencapai 44% lebih banyak. Dan dari jumlah yang akan dipindahkan sebanyak 1% harus pindah dengan biaya sendiri karna tidak mendapatkan biaya translokasi. 
  • Sebanyak 70% pembuatan kesepakatan-kesepakatan menyangkut kehidupan penduduk lokal tidak melibatkan penduduk lokal tersebut. 
  • Pembangunan bendungan multipurpose (seperti bendungan Jatigede) umumnya terlambat selesai dan memakan biaya yang jauh lebih besar dari anggaran awal dibandingkan pembangunan bendungan single purpose.
Selain hasil penelitian WCD, IRN (Internatioal Rivers Network) juga meneliti mengenai kontribusi dam dalam pemanasan global. Pembangunan bendungan-bendungan pembangkit listrik di Amazon menyebabkan pelepasan gas rumah kaca berupa methan dan karbondioksida dengan implikasi hingga 45 kali lipat dibandingkan pelepasan akibat pembangkit listrik menggunakan gas alam. Hal ini terjadi karena pembanjiran kawasan dengan seluruh bahan organik seperti, hutan, kebun, bangunan kayu, tanaman dan lain sebagainya menyebabkan pembusukan berlangsung secara anaerob dan menghasilkan gas methan dan karbondioksida dalam jumlah yang besar. Ketika turbin pembangkit listrik berputar dan mengaduk sebagian air, gas tersebut akan terlepas ke udara dan menghasilkan efek rumah kaca.
Bendungan di Indonesia
Sejarah perkembangan bendungan di Indonesia tidak terdata dengan baik atau setidaknya informasinya tidak dapat diakses dengan mudah. Evaluasi performa bendungan selama ini tidak pernah dilakukan sehingga sulit melihat apakah bendungan di Indonesia berhasil memenuhi tujuan pembuatannya. Tetapi sebagai gambaran hasil evaluasi WCD dan IRN dapat kita jadikan gambaran acuan permasalahan bendungan.
Salah satu cerita besar masalah yang menyertai pembangunan bendungan terjadi di Bendungan Kedungombo yang dibiayai oleh World Bank. Para penduduk lokal yang dipindahkan dari tanahnya harus mengalami perubahan dramatis dari kondisi mampu bertahan hidup dengan tanah garapannya yang subur ke tanah yang sama sekali tidak dapat ditanami.

Salah satu solusi yang dikeluarkan adalah memperbolehkan penduduk kembali ke bendungan dan memelihara ikan dalam karamaba. Bendungan sebagai ekosistem perairan yang tertutup memungkinkan penyakit tersebar dengan cepat dan mengalami perbanyakan dalam waktu yang singkat. Hal ini terjadi di Kedungombo dan menyebabkan petani tidak dapat memlihara ikan. Sampai saat ini, sudah 4 tahun berlalu dan tidak ada yang dapat dilakukan. Bayangkan selama 4 tahun petani tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Sudah selama itu pula generasi sekolah di sana tidak dapat meneruskan pendidikannya.

Masalah bendungan terus berlanjut dan meluas, dan gambaran nyata bahwa bendungan dapat menyebabkan masalah sosial sebesar hilangnya satu generasi berpotensi.
Pemerintah harus memperhatikan semua fakta sejarah bendungan dengan serius dan memperhitungkan apakah memang bendungan solusinya. Bila solusi atas kekeringan, kebnjiran, suplai air irigasi, dan tenaga listrik yang dicari maka pemerintah harus membuka alternatif solusi selain bendungan yang telah terbukti tidak efektif sebagai jawaban.
Deretan daftar buruknya performa bendungan tersebut hanya sebagian. Tetapi, seharusnya cukup untuk membuat kita mempertanyakan efektivitas dan efisiensi bendungan sebagai jawaban. Bila cara yang sama telah dilakukan ribuan kali dan masih juga tidak efisien di seluruh dunia, apa alasan proyek Jatigede akan menjadi berbeda?

Sumber: Walhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar Anda